Hai MadinBlog! First time aku bikin akun Bloggers dan akhirnya langsung bisa post. Untuk yang pertama kalinya aku mau berbagi karya murni dari pikiranku sendiri ya! Enjoy!
Mary Aulia, nama yang penuh dengan makna didalamnya. Aku suka Croissant, Aku takut dengan laba-laba, dan aku benci dengan guru BK.
Dahulu aku mendapatkan peringkat pertama untuk nilai UN tertinggi di SMP, dapat dikatakan sebuah anugerah yang menurutku sangat membanggakan. Kedua orang tuaku menyambutku selepas mereka selesai dengan pekerjaannya di Paris. Mereka membawakanku paket berisi Croissant dari Eric Kayser Artisan. Saudaraku juga banyak yang membelikanku hadiah dari brand terkenal. Rasanya sangat bahagia pada saat itu.
Iya saat itu. Kini, saat ini, hari ini, jam ini, menit ini sampai detik ini, aku berubah sangat drastis dan mulai menutup diri. EK-3089, itu adalah pesawat jatuh yang sempat heboh dan saat ini korbannya belum ditemukan. Salah satu korbannya adalah orang tuaku sendiri. Mungkin ini yang menjadi faktor aku bisa berubah sampai sekarang. Dulu aku dikenal dengan siswi berprestasi yang disukai banyak guru, tetapi kini berbanding terbalik.
Selama masa SMA, Ruang BK adalah rumahku yang kedua. Banyak orang bilang bahwa Sekolah adalah rumah kedua bagi mereka. Aku tidak menganggap itu lagi. Tidak sama sekali. Pemikiranku Sekolah adalah tempat yang hanya membuang-buang waktu saja.
Aku sering bertengkar dengan guru, ketahuan merokok dibelakang gudang sekolah, menjambaki rambut adik kelas karena tidak sengaja menabrakku, mewarnai rambut, menendang meja ketika ada guru, tidak sopan ketika bercakap dengan kepala sekolah sampai melukai anak kucing yang sedang tertidur di mejaku. Sepertinya lebih sering masuk ke ruang BK daripada ruang kelasku sendiri. Apalagi ketika guru BK sedang menceramahiku, membosankan.
“Bu, saya laper mau makan. Udah 2 jam lebih saya disini. Saya bosan” ujarku
“Mary, kalau kamu bosan keluar masuk BK terus, kamu seharusnya sadar dan tidak berulah lagi” ucap guru BK bernama Bu Inan yang dikenal penyabar. Suaranya sangat lembut dan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa nyaman, tetapi tidak denganku.
“Terserah saya dong bu, saya sekolah disini juga bayar”.
“Bukan masalah itu, Mary. Tapi, ....”.
“Halah udah deh bu!! Gausah sok ceramahin saya lagi, tiap hari dipanggil mulu, kapan saya bebasnya?!! Ibu tuh cuma guru BK disini gausah ngatur-ngatur orang. Ini hak saya kok!! Guru BK tuh gak ada apa-apa nya. Saya tau ibu kayak gini biar ada yang ngasih uang kan??! Guru BK gajinya tuh gak sebanding sama guru yang biasanya ngajar di kelas!!! Saya benci sama ibu” begitu sekiranya ucapanku dan langsung pergi dari ruang BK tanpa melihat reaksi Bu Inan.
Keesokan harinya, aku menemui kepala sekolah. Di Ruang Kepala Sekolah aku hanya diam mendengarkan beliau berbicara tentang proses pengeluaranku dari sekolah. Wajahku terlihat tenang karena memang ini yang aku inginkan. Tak lama, terdengar pintu diketuk dan Bu Inan masuk ke Ruang Kepala Sekolah. Dahiku mengernyit ketika mereka berdua sedang membisikkan sesuatu dengan serius dan akhirnya aku diperbolehkan untuk keluar.
Semoga saja aku benar-benar dikeluarkan dari sekolah. Sudah muak dengan sekolah ini. Lagipula orang sepertiku memang seharusnya dikeluarkan. Buat apa dipelihara. Tiba-tiba Bu Inan memanggilku. Aku memutar bola mataku dan menghampirinya dengan sedikit menghentakkan kaki.
“Apa?” ucapku ketus, memang tidak ada sopan santunnya.
“Ibu mau ngobrol sebentar sama kamu” Bu Inan memegang tanganku dan langsung ku tepis.
“Saya udah bukan siswi disini lagi, Bu. Jadi jangan ngatur saya” suaraku sedikit lirih karena sudah lelah bertengkar dengan beliau. Belum tiga kali melangkah, Bu Inan sukses membuatku terkejut ketika melontarkan argumennya.
“Saya tahu kamu kesepian. Kamu berubah karena belum menerima kenyataan bahwa kamu bukan lagi siswi yang disukai teman-teman karena kekayaanmu”.
Aku membulatkan mataku. Nafasku mencekat. Tanganku mengepal kuat sampai jari jemariku memutih. Rahangku mengeras. Lalu kubalas perkataannya dengan sedikit teriak.
“Berapa kali saya bilang! Jangan ikut campur!!!”.
“Saya tau kamu baik. Hanya saja kamu belum menerima kejadian masa lalu. Kamu harus tegar. Jalani semuanya dengan suka cita, jangan seperti ini. Saya turut sedih mendengar orang tua kamu sudah tiada, saya tau kamu lebih sedih. Hatimu boleh hancur tapi tidak dengan jiwamu, kamu hebat masih bisa menjalani hari demi hari. kamu bisa bangkit, nak. Kita jalani semuanya mulai dari nol. Yang penting selalu berdoa dan tabah.” Perkataan Bu Inan membuatku terpaku. Entah kenapa itu membuatku merasa sedikit nyaman. Tapi karena gengsi, aku tidak menanggapinya dan langsung meninggalkan Bu Inan.
Sudah seminggu aku bolos sekolah. Banyak panggilan tak terjawab di ponselku. Aku sengaja mengabaikannya. Aku sangat lelah. Ingin beristirahat dulu dari keadaan yang membuat batinku tersiksa.
Kudengar Bu Inan dipindah-tugaskan ke luar kota. Ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik disana. Sejujurnya ada sedikit rasa kehilangan. Aku berakhir dengan melamun. Merenungi perkataan Bu Inan saat itu.
“Hatimu boleh hancur tapi tidak dengan jiwamu, kamu hebat masih bisa menjalani hari demi hari. Kamu bisa bangkit, nak.”
Entah kenapa setelah mengingat kata-kata itu membuatku teringat dengan perkataan ibuku. Aku meneteskan air mata. Seluruh badanku tiba-tiba dingin. Aku memeluk tubuhku dengan tangan melingkar dikedua lututku. Nafasku sedikit sesak. Aku mulai sadar bahwa selama ini yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Bu Inan adalah orang yang selama ini aku benci, tetapi dia sangat sabar menanggapi semua omongan kasarku. Aku tahu dia sakit hati, tapi dia masih bisa tersenyum kepadaku. Dia adalah guru. Guru yang terlalu baik untukku.
Ting!
Tiba-tiba notif berbunyi dari ponselku.
Halo Mary! Ini Bu Inan. Hari ini Ibu tidak bisa menemani harimu lagi seperti biasanya. Ibu pindah ke sebuah kota yang kecil. Kota yang cantik, sama seperti anak ibu yaitu kamu, Mary. Disini udaranya sangat sejuk, cocok untuk melepaskan kepenatan. Ingat nak! Jadilah dinding yang kuat ketika masa-masa sulit. Jadilah matahari yang tersenyum ketika masa-masa indah. Kamu adalah matahari ibu.
Mary, itu nama yang sangat bagus. Berhubungan dengan nama psikolog. Ibu menjadi guru BK bukan karena uang atau yang lain. Ibu hanya ingin menemani anak-anak ibu yang sedang kesulitan. Ibu sangat senang menolong. Jangan bolos lagi ya. Tetap semangat dan jangan putus asa!
Tangisku pecah membaca pesan dari Bu Inan. Bahuku naik turun, air mata menderai sangat deras hingga membuatku terisak. Penyesalanku semakin bertambah. Ternyata selama ini beliau memanggilku ke Ruang BK hampir setiap hari bukan karena aku nakal, tetapi beliau ingin menemaniku dari kesepian yang menyelimuti. Tentang aku yang ingin dikeluarkan dari sekolah, ternyata Bu Inan sempat mendesak Kepala Sekolah agar tetap mempertahankanku. Beliau luar biasa baik. Aku sering menyakitinya, tapi dia tetap sabar dan mau menolongku.
Badanku terasa dingin. Aku memeluk lutut semakin erat. Tanganku gemetar. Sesekali menjambak rambutku berharap waktu bisa terulang kembali.
Mary, itu nama yang sangat bagus. Berhubungan dengan nama psikolog
Sebentar, aku memikirkan sepenggalan kata dipesan Bu Inan. Ada yang janggal. Setelah kuteliti memang Mary adalah psikolog wanita yang terkenal dan luar biasa hebat. Aku jadi termotivasi dengan itu. Rasanya aku ingin mencoba menjadi psikolog. Aku juga sadar bahwa menjadi Guru BK itu sangat berat. Beliau yang membantu siswa untuk keluar dari permasalahan sedangkan beliau sendiri juga punya masalah yang menghantuinya.
Kepalaku sedikit pusing. Badanku terasa remuk. Sedikit demi sedikit badanku jatuh ke lantai. Mataku perlahan mulai menutup. Penglihatanku mulai menghitam. Terima kasih Bu Inan. Engkaulah Pelita hidup yang tak pernah redup. Maafkan anakmu ini yang susah sekali diatur. Terima kasih Pelita hidupku.